oleh Mardiah
Saya terkesan dengan sebuah kalimat dari seorang wali murid pada saat awal Beliau memindahkan putranya dari sebuah sekolah dan menitipkannya pada sekolah ini sekitar delapan tahun yang lalu. Alasan Beliau ketika itu karena guru-guru yang beliau tsiqohi (dipercayai) kompak mengundurkan diri dari sekolah tersebut. Yang sekarang ini putra beliau sudah duduk di kelas 2 Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP).
Kurang lebih Beliau mengatakan, “ Saya menitipkan anak saya disini, karena saya percaya kualitas guru-gurunya, ibarat sebuah masakan bu.. jadi atau tidaknya masakan itu tergantung dari kokinya, meskipun semua bahan telah ada jika koki itu tidak mengetahui bagaimana cara membuat sebuah masakan, apa saja yang harus dilakukan dan disiapkan , tentunya masakan yang diinginkan tidak akan terjadi seperti yang diharapkan”.
Itulah kalimat yang kemudian menggoreskan kesan dan memberikan sebuah makna baru untuk saya. Tersanjung sekaligus tertantang, benarkah kami adalah pilihan yang dipilih dari sekian banyak pilihan yang lainnya? Mampukah kami membuktikan bahwa kepercayaan yang diberikan pada kami itu tidak salah? Tentunya hanya karena rahmat Allah semata jika itu benar.
Sekedar contoh jika diibaratkan seorang koki maka jika mendapat tugas atau kepercayaan memasak sayur sop koki harus tahu benar bahan-bahan yang dibutuhkan, bagaimana cara memasaknya, berapa ukuran bumbu-bumbunya, hingga tercapailah sayur sop yang enak dan lezat sesuai yang diinginkan.
Guru dipandang sebagai sosok yang cukup menentukan gagal tidaknya sebuah proses pembelajaran. Fasilitas yang lengkap, kurikulum yang handal tanpa kehadiran guru-guru yang berkualitas, kreatif dan profesional tentu tidak mampu menghasilkan output yang sesuai dengan yang diharapkan.
Paling tidak dari sepenggal kisah atau kalimat itu jika kita mau merenungi maka mampu menjadikan motivasi diri kita untuk senantiasa meningkatkan diri dalam rangka menyempurnakan peran-peran kita. Mungkin juga wali murid pemilik kalimat itu sudah lupa dengan kisah tersebut, saya bahagia karena pemilik kalimat itu untuk saat ini bahkan diamanahi untuk memimpin lembaga pendidikan di sekolah ini.(nv&wafitsu)
TKIT Harapan Bunda didirikan tahun 1997, dibawah payung Yayasan Bakti Ibu. TK ini telah mendapatkan perhatian dan simpati yang lebih dari masyarakat semarang dan sekitarnya.
November 2007, TKIT Harapan Bunda telah ter-Akreditasi A oleh Badan Akreditasi Nasional dengan nilai 96,24.
Semoga TKIT Harapan Bunda terus berkarya, istiqomah serta menghasilkan generasi-generasi Rabbani yang ceria, mandiri dan berakhlaq mulia
28 Agustus 2008
19 Agustus 2008
GURU berPRESTASI versi HARBUN
Tahun kemarin, TKIT Harapan Bunda mencanangkan sebagai Tahun "PRESTASI". Untuk memotivasi Guru, maka tak heran jika ada beberapa Nominasi Guru berPRESTASI. Nominasi ini diumumkan ketika Upacara Hari Kemerdekaan RI oleh LPIT Harapan Bunda.
Dengan acuan "Multiple Intelegence", terdapat beberapa nominasi, antara lain :
1. Cerdas Linguistik = Bu Mardiah
2. Cerdas Logika Matematika = Bu Sulistyaningrum
3. Cerdas Inter Personal = Bu Wahyu Fitroh .S.
4. Cerdas Intra Personal = Bu Chuzaifah
5. Cerdas Visual = Bu Inke Novita
6. Cerdas Kinestetik = Bu Lisda Mulya
7. Cerdas Musik = Bu Syari Fatikha
Dan yang terpilih sebagai Guru TELADAN versi HARBUN adalah Bu Sulistyaningrum ....
Barakallah buat Bu Guru semua .... Semoga tetep istiqomah, semangat dan Fastabiqul Khoirot yaaa .... (nv_geulis)
15 Agustus 2008
SEMARAK HUT RI ke-63 th
Bertempat di halaman sekolah, pagi itu suasana tak seperti biasanya. Begitu sampai disekolah anak TK seolah-olah seperti mendapat kejutan baru. “ hore ada kolam ikan dihalaman sekolahku, asyik” begitulah kira-kira perasaan mereka dan tanpa dikomando oleh siapapun, anak yang biasanya datang meletakkan tas dan sepatu pada tempatnya, seolah-olah lupa dengan kebiasaan tersebut. Yah mereka begitu exited dengan apa yang mereka lihat. Ikan warna-warni dan belut tampak bergerak-gerak lincah didalam sebuah kolam putih berukuran 3 x 3 meter dari plastik dan bambu itu.
Ternyata itulah suasana hari dimulainya kegiatan semarak HUT RI ke-63, dengan berbagai macam lomba internal . Lomba –lomba itu terdiri dari lomba menangkap ikan dan belut oleh tim sentra alam, lomba bercerita oleh tim sentra persiapan, lomba menyusun balok oleh tim sentra balok dan lomba akting oleh tim sentra peran. Menurut Muji Rahayu S.Pd, selaku kepala sekolah mengatakan ”kami berharap anak-anak ikut merasa senang atas buah dari kemerdekaan dan termotivasi mengisi kemerdekaan ini dengan berbagai macam prestasi sesuai potensi diri, dan insya Alloh kegiatan ini akan kami akhiri pada hari sabtu 16 Agustus 2008 dengan Dongeng dan pemberian hadiah”. mdh&nv_geulis
04 Agustus 2008
Orientasi Siswa Baru
Lucu, ceria dan kreatif. Itulah kesan yang tampak pada acara Orientasi Siswa TK IT Harapan Bunda. Orientasi yang dilaksanakan pada tanggal 14 – 19 Juli 2008 ini semakin meriah dengan tampilan kelas B. Dengan rasa percaya diri anak-anak berusia 5 tahun tersebut bermain operet untuk memotivasi adik-adik kelas A supaya berani sekolah sendiri. Dengan dibantu 1 guru sebagai narator, anak-anak dengan cekatan memerankan adegan sesuai komando narator. Menurut ketua panitia Chuzaifah mengatakan ”Operet ini memang spontanitas anak. Skenarionya-pun baru disampaikan pagi itu juga sebelum ditampilkan”. (Mdh)
03 Agustus 2008
Moment of RAKER
“Dengan cinta kami mengabdi, penuh semangat raih prestasi” inilah tema raker kita kali ini. Bukan hanya sekedar tema aja, melainkan ”pompa” bagi semangat para Guru dan Karyawan. Raker yang dilaksanakan 3 hari, mulai hari selasa (8/7) sampai kamis (10/7) ini tidak membuat semangat peserta “loyo” justru “berkobar-kobar” (api kali yeeee …. Hehehe ….. ). Dikarenakan suasana raker yang setiap hari berubah, tidak seperti raker-raker sebelumnya. Seperti kata ketua panitia ,”Raker kita kali ini harus semangat, berbeda dan tambah komitmen”.
Meski panas tanpa penyejuk ”kipas angin”, tidak menyurutkan ghiroh peserta raker untuk bergerilya dengan RPP yang dibuat. Ditambah lagi, pas waktu ”ending” acara raker, terdapat nominasi ”Miss RAKER” dengan beberapa kategori. Dan terpilih Bu Muji sebagai ”Miss Runner-Up of Raker” serta Bu Ningrum ”Miss Best of Raker”.
Barakallah Bu ….. dan Barakallah buat Bu Guru semua ….. Tetap semangat dan Fastabiqul Khoirot yaaa...... (nv_geulis)
02 Agustus 2008
PAUD dan Harapan Lahirnya Generasi Berkarakter
Oleh: Mardiah (guru kelas A Yusuf)
Semakin meningkatnya layanan PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) akhir-akhir ini paling tidak memunculkan harapan bagi masyarakat pemerhati PAUD di Indonesia. Menjelang tahun ajaran baru pendidikan, masyarakat banyak disuguhkan dengan berbagai promosi penawaran penyelenggaraan pendidikan anak usia dini baik formal maupun non formal. Penawaran pendidikan usia dini formal diwakili oleh Taman Kanak-Kanak. Sementara pendidikan anak usia dini non formal bisa berupa penitipan anak dan kelompok bermain. Penawaran yang menjanjikan pelayanan pengasuhan anak usia dini secara profesional dari segi fasilitas, sumber daya manusia serta metodologi yang unggul yang tepat untuk anak-anak. Bahkan pelayanan informal untuk parenting ( orangtua ) pun mulai beragam dikembangkan.
Fenomena ini menunjukkan meningkatnya kesadaran orang tua, masyarakat dan tentunya pemerintah dalam memperhatikan tumbuh kembang anak sejak dini. Sejalan dengan itu menurut Soemiarti Patmonodewo (2007) Anak-anak masa kini adalah masa depan bangsa kita, apa yang terjadi pada hari pertama merupakan awal perkembangan kepribadiannya dan kemudian mewarnai kualitas masyarakat dan kemudian berdampak pada kondisi dunia.
Bagi masyarakat pemerhati pendidikan tentunya berharap bahwa ini bisa menjadi investasi masa depan bangsa yang saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan. Negeri ini sungguh sangat membutuhkan generasi yang bukan hanya unggul dalam kapasitas skill dan intelektual semata, namun lebih penting lagi harus memiliki integritas moral tinggi dan karakter yang kuat sebagai pemimpin sekaligus pelayan bagi rakyat.
Kalau ditinjau dari pentingnya perhatian direntang usia dini 0 sampai 6 tahun, ini merupakan usia emas (golden age) bagi anak. Sigmund Freud menyebutnya sebagai lima tahun pertama yang paling penting. Hal ini dikuatkan dengan penelitian Benyamin S. Bloom yang menyebutkan bahwa pada usia empat tahun anak sudah membentuk 50% kecerdasan yang akan dimilikinya setelah dewasa. Dan di usia 6 tahun anak telah mencapai 2/3 kecerdasan yang akan dimiliki pada usia 17 tahun. Ini menunjukkan bahwa usia dini merupakan periode penting untuk membentuk karakter anak di kemudian hari. Pembentukan karakter sangat tepat bila ditanamkan sejak usia dini.
Mengingat pentingnya hal tersebut pendidikan anak usia dini perlu mendapatkan perhatian yang besar. Tidak hanya dari pemerintah dan pemerhati PAUD saja. Namun keberhasilan pendidikan anak usia dini sangat ditentukan oleh kesadaran dan partisipasi seluruh komponen masyarakat yang ada. Didalam Undang-Undang no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) menyebutkan bahwa pendidikan anak usia dini sejajar dengan pendidikan lainnya. Secara yuridis formal keberadaan PAUD telah dijamin oleh negara. Untuk penyelenggaraannya bisa melalui pendidikan formal, nonformal dan informal.
Meskipun demikian jika dibandingkan dengan negara tetangga lain di Asia Tenggara tingkat partisipasi PAUD di Indonesia masih jauh lebih kalah. Bandingkan saja dengan di Malaysia yang sudah mencapai 89%, Thailand 86%, Vietnam 43%. Sementara di Indonesia angka partisipasi PAUD masih 22% (kompas, 05 Desember 2006).
Sementara Alisher Umarov Programe specialist UNESCO menyebutkan bahwa di Malaysia, Filipina dan Thailand anggaran untuk PAUD rata-rata telah mecapai diatas 10%.
Sebenarnya di Indonesia sendiri perhatian pemerintah terhadap PAUD dari waktu ke waktupun semakin besar . Meski bisa dikatakan resminya Direktorat PAUD masih terhitung baru, yaitu sesuai dengan peraturan Mendiknas no.13 / 2005, namun masyarakat bisa merasakan adanya perkembangan yang cukup pesat. Setidaknya secara operasional 3 pilar arah kebijakan yang tertuang dalam renstra depdiknas 2005-2009 sudah mulai nampak perkembangannya. Tiga pilar arah kebijakan itu meliputi 1)Perluasan dan pemerataan akses,2)Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing,3)Penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik
Mengenai program perluasan dan pemerataan akses, penulis berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan pemerintah untuk menggalang kemitraan perlu dioptimalkan dengan lebih memprioritaskan kemudahan akses pelayanan pada masyarakat bawah khususnya keluarga miskin. Beberapa waktu yang lalu tepatnya tanggal 11 mei 2008 bersama teman-teman aktivis PWK ( pos wanita keadilan ) disemarang, penulis menemukan kasus seorang ibu muda. Ibu tersebut sedang mengandung 11 bulan namun kandungan itu belum juga lahir dan baru sekali memeriksakan diri ketika usia kandungan 6 bulan karena faktor biaya. Kasus sebelumnya pernah dua kali ibu tersebut keguguran sementara anaknya yang hidup dengan usia 1,5 tahun belum juga bisa berjalan. Padahal ibu tersebut tinggal di kota. Artinya kasus ini bisa menjadi data bagi kita bahwa pelayanan informal pada masyarakat bawah khususnya keluarga miskin perlu menjadi prioritas dalam pemerataan layanan. Program kemitraan dan kerja sama dengan berbagai instansi , pakar, LSM peduli PAUD, organisasi wanita PKK dan sejenisnya, politisi dan pemerhati PAUD perlu terus dikembangkan. Namun juga perlu selektif , harapannya supaya kepercayaan pemerintah tidak disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang hanya mencari keuntungan semata.
Kemudian mengenai peningkatan mutu , relevansi dan daya saing , penulis berharap kualitas layanan PAUD harus dipersiapkan secara matang dan profesional terutama mengenai kualitas tenaga pendidiknya. Ini mejadi sangat penting karena kualitas output PAUD sangat ditentukan kualitas para pendidiknya. Keberhasilan pembentukan karakter dan kecerdasan anak akan gagal atau tidak optimal jika para pendidik ( guru maupun orangtua) tidak memiliki skill yang cukup untuk memahami karakteristik anak dari permasalahan maupun penanganannya. Karena pada dasarnya setiap anak itu unik dan terlahir dengan potensi yang berbeda-beda. Menurut teori multiple intelegencies (Gardner) menyebutkan ada 8 tipe kecerdasan. Biasanya seorang anak memiliki satu atau lebih kecerdasan . tetapi sangat jarang yang memiliki secara sempurna 8 kecerdasan tersebut. Tugas para pendidiklah untuk membimbing dan mengembangkan potensi itu agar berkembang optimal sesuai tipe kecerdasannya. Para pendidik harus memahami kebutuhan khusus dan individual anak. Jadi sekarang sudah tidak masanya lagi memilih guru anak usia dini hanya berbekal sabar dan pandai menyanyi saja. Namun mereka butuh bekal yang cukup memadai untuk bisa merealisasikan terbentuknya anak Indonesia yang sehat, cerdas dan berakhlak mulia. Yang juga penting dilakukan oleh pemerintah untuk saat ini adalah mencetak kader kader pendidik yang kredibel sesuai dengan bidangnya.
Sayangnya, sampai saat ini masih sangat jarang perguruan Tinggi yang membuka program jurusan S1 PAUD. Setidaknya ditempat penulis sendiri hingga saat ini , belum ada perguruan tinggi yang membuka program PAUD tersebut baik negari maupun swasta. Padahal semakin berkembangnya layanan PAUD baik formal,non formal maupun informal di lapangan sangat membutuhkan SDM yang berkompeten dibidangnya. Di negara maju semacam Amerika,Inggris dan Perancis banyak para pendidik PAUD yang bergelar Master dan Doktor , mereka juga aktif menulis buku buku tentang PAUD. Sehingga wajar bila banyak dari asosiasi mereka berhasil menghasilkan karya-karya besar diantaranya yang dikenal dengan DAP (developmentally appropriate practice) yang telah menjadi acuan pengembangan PAUD di berbagai negara.
Selain itu kita juga bisa belajar dari program Missouri Parent of Teacher (PAT) di Amerika Serikat yang mulai digagas pada tahun 1981 sebagai program percontohan Parent as first teachers ( orangtua sebagai guru pertama). Program tersebut ditujukan untuk mendidik para orangtua sehingga mereka mampu mendidik anak-anaknya sendiri. Sekarang program ini menjadi layanan yang dibiayai pemerintah. Sekitar 60.000 keluarga dengan anak usia 0-3 tahun telah mengikuti program tersebut. Mereka dibimbing oleh sekitar 1500 pendidik orangtua yang terlatih yang bekerja sebagai honorer. (Suara Karya online 2 september 2006).
Yang perlu diantisipasi bersama, jangan sampai anggaran yang cukup besar untuk pelayanan PAUD banyak terfokus untuk melayani sebanyak-banyaknya tanpa melihat mutu layanan PAUD itu sendiri. Penyiapan pendidik dan pengelola PAUD harus menjadi program penting agar upaya yang telah dilakukan tidak menjadi mubadzir karena rendahnya kualitas layanan PAUD. Dengan demikian tidak berlebihan jika kita semua berharap bahwa infestasi terhadap PAUD akan mampu melahirkan keuntungan yang besar dimasa depan. Kehadiran layanan PAUD diharapkan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang memiliki karakter kuat yang mampu berkompetisi dengan negara-negara maju lain di dunia. (nv_geulis)
Bagi masyarakat pemerhati pendidikan tentunya berharap bahwa ini bisa menjadi investasi masa depan bangsa yang saat ini sedang mengalami krisis kepemimpinan. Negeri ini sungguh sangat membutuhkan generasi yang bukan hanya unggul dalam kapasitas skill dan intelektual semata, namun lebih penting lagi harus memiliki integritas moral tinggi dan karakter yang kuat sebagai pemimpin sekaligus pelayan bagi rakyat.
Kalau ditinjau dari pentingnya perhatian direntang usia dini 0 sampai 6 tahun, ini merupakan usia emas (golden age) bagi anak. Sigmund Freud menyebutnya sebagai lima tahun pertama yang paling penting. Hal ini dikuatkan dengan penelitian Benyamin S. Bloom yang menyebutkan bahwa pada usia empat tahun anak sudah membentuk 50% kecerdasan yang akan dimilikinya setelah dewasa. Dan di usia 6 tahun anak telah mencapai 2/3 kecerdasan yang akan dimiliki pada usia 17 tahun. Ini menunjukkan bahwa usia dini merupakan periode penting untuk membentuk karakter anak di kemudian hari. Pembentukan karakter sangat tepat bila ditanamkan sejak usia dini.
Mengingat pentingnya hal tersebut pendidikan anak usia dini perlu mendapatkan perhatian yang besar. Tidak hanya dari pemerintah dan pemerhati PAUD saja. Namun keberhasilan pendidikan anak usia dini sangat ditentukan oleh kesadaran dan partisipasi seluruh komponen masyarakat yang ada. Didalam Undang-Undang no 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (sisdiknas) menyebutkan bahwa pendidikan anak usia dini sejajar dengan pendidikan lainnya. Secara yuridis formal keberadaan PAUD telah dijamin oleh negara. Untuk penyelenggaraannya bisa melalui pendidikan formal, nonformal dan informal.
Meskipun demikian jika dibandingkan dengan negara tetangga lain di Asia Tenggara tingkat partisipasi PAUD di Indonesia masih jauh lebih kalah. Bandingkan saja dengan di Malaysia yang sudah mencapai 89%, Thailand 86%, Vietnam 43%. Sementara di Indonesia angka partisipasi PAUD masih 22% (kompas, 05 Desember 2006).
Sementara Alisher Umarov Programe specialist UNESCO menyebutkan bahwa di Malaysia, Filipina dan Thailand anggaran untuk PAUD rata-rata telah mecapai diatas 10%.
Sebenarnya di Indonesia sendiri perhatian pemerintah terhadap PAUD dari waktu ke waktupun semakin besar . Meski bisa dikatakan resminya Direktorat PAUD masih terhitung baru, yaitu sesuai dengan peraturan Mendiknas no.13 / 2005, namun masyarakat bisa merasakan adanya perkembangan yang cukup pesat. Setidaknya secara operasional 3 pilar arah kebijakan yang tertuang dalam renstra depdiknas 2005-2009 sudah mulai nampak perkembangannya. Tiga pilar arah kebijakan itu meliputi 1)Perluasan dan pemerataan akses,2)Peningkatan mutu, relevansi dan daya saing,3)Penguatan tata kelola, akuntabilitas dan pencitraan publik
Mengenai program perluasan dan pemerataan akses, penulis berpendapat bahwa apa yang telah dilakukan pemerintah untuk menggalang kemitraan perlu dioptimalkan dengan lebih memprioritaskan kemudahan akses pelayanan pada masyarakat bawah khususnya keluarga miskin. Beberapa waktu yang lalu tepatnya tanggal 11 mei 2008 bersama teman-teman aktivis PWK ( pos wanita keadilan ) disemarang, penulis menemukan kasus seorang ibu muda. Ibu tersebut sedang mengandung 11 bulan namun kandungan itu belum juga lahir dan baru sekali memeriksakan diri ketika usia kandungan 6 bulan karena faktor biaya. Kasus sebelumnya pernah dua kali ibu tersebut keguguran sementara anaknya yang hidup dengan usia 1,5 tahun belum juga bisa berjalan. Padahal ibu tersebut tinggal di kota. Artinya kasus ini bisa menjadi data bagi kita bahwa pelayanan informal pada masyarakat bawah khususnya keluarga miskin perlu menjadi prioritas dalam pemerataan layanan. Program kemitraan dan kerja sama dengan berbagai instansi , pakar, LSM peduli PAUD, organisasi wanita PKK dan sejenisnya, politisi dan pemerhati PAUD perlu terus dikembangkan. Namun juga perlu selektif , harapannya supaya kepercayaan pemerintah tidak disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu yang hanya mencari keuntungan semata.
Kemudian mengenai peningkatan mutu , relevansi dan daya saing , penulis berharap kualitas layanan PAUD harus dipersiapkan secara matang dan profesional terutama mengenai kualitas tenaga pendidiknya. Ini mejadi sangat penting karena kualitas output PAUD sangat ditentukan kualitas para pendidiknya. Keberhasilan pembentukan karakter dan kecerdasan anak akan gagal atau tidak optimal jika para pendidik ( guru maupun orangtua) tidak memiliki skill yang cukup untuk memahami karakteristik anak dari permasalahan maupun penanganannya. Karena pada dasarnya setiap anak itu unik dan terlahir dengan potensi yang berbeda-beda. Menurut teori multiple intelegencies (Gardner) menyebutkan ada 8 tipe kecerdasan. Biasanya seorang anak memiliki satu atau lebih kecerdasan . tetapi sangat jarang yang memiliki secara sempurna 8 kecerdasan tersebut. Tugas para pendidiklah untuk membimbing dan mengembangkan potensi itu agar berkembang optimal sesuai tipe kecerdasannya. Para pendidik harus memahami kebutuhan khusus dan individual anak. Jadi sekarang sudah tidak masanya lagi memilih guru anak usia dini hanya berbekal sabar dan pandai menyanyi saja. Namun mereka butuh bekal yang cukup memadai untuk bisa merealisasikan terbentuknya anak Indonesia yang sehat, cerdas dan berakhlak mulia. Yang juga penting dilakukan oleh pemerintah untuk saat ini adalah mencetak kader kader pendidik yang kredibel sesuai dengan bidangnya.
Sayangnya, sampai saat ini masih sangat jarang perguruan Tinggi yang membuka program jurusan S1 PAUD. Setidaknya ditempat penulis sendiri hingga saat ini , belum ada perguruan tinggi yang membuka program PAUD tersebut baik negari maupun swasta. Padahal semakin berkembangnya layanan PAUD baik formal,non formal maupun informal di lapangan sangat membutuhkan SDM yang berkompeten dibidangnya. Di negara maju semacam Amerika,Inggris dan Perancis banyak para pendidik PAUD yang bergelar Master dan Doktor , mereka juga aktif menulis buku buku tentang PAUD. Sehingga wajar bila banyak dari asosiasi mereka berhasil menghasilkan karya-karya besar diantaranya yang dikenal dengan DAP (developmentally appropriate practice) yang telah menjadi acuan pengembangan PAUD di berbagai negara.
Selain itu kita juga bisa belajar dari program Missouri Parent of Teacher (PAT) di Amerika Serikat yang mulai digagas pada tahun 1981 sebagai program percontohan Parent as first teachers ( orangtua sebagai guru pertama). Program tersebut ditujukan untuk mendidik para orangtua sehingga mereka mampu mendidik anak-anaknya sendiri. Sekarang program ini menjadi layanan yang dibiayai pemerintah. Sekitar 60.000 keluarga dengan anak usia 0-3 tahun telah mengikuti program tersebut. Mereka dibimbing oleh sekitar 1500 pendidik orangtua yang terlatih yang bekerja sebagai honorer. (Suara Karya online 2 september 2006).
Yang perlu diantisipasi bersama, jangan sampai anggaran yang cukup besar untuk pelayanan PAUD banyak terfokus untuk melayani sebanyak-banyaknya tanpa melihat mutu layanan PAUD itu sendiri. Penyiapan pendidik dan pengelola PAUD harus menjadi program penting agar upaya yang telah dilakukan tidak menjadi mubadzir karena rendahnya kualitas layanan PAUD. Dengan demikian tidak berlebihan jika kita semua berharap bahwa infestasi terhadap PAUD akan mampu melahirkan keuntungan yang besar dimasa depan. Kehadiran layanan PAUD diharapkan mampu melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang memiliki karakter kuat yang mampu berkompetisi dengan negara-negara maju lain di dunia. (nv_geulis)
01 Agustus 2008
Mengembangkan Kecerdasan Spiritual Anak Sejak Dini
Krisis akhlak yang menimpa Indonesia berawal dari lemahnya penanaman nilai terhadap anak pada usia dini. Pembentukan akhlak terkait erat dengan kecerdasan emosi, sementara itu kecerdasan itu tidak akan berarti tanpa ditopang oleh kecerdasan spiritual. Prasekolah atau usia balita adalah awal yang paling tepat untuk menanamkan nilai-nilai kepada anak. Namun, yang terjadi sebaliknya. Anak lebih banyak dipaksa untuk mengekplorasi bentuk kecerdasan yang lain, khususnya kecerdasan intelektual, sehingga anak sejak awal sudah ditekankan untuk selalu bersaing untuk menjadi yang terbaik, sehingga menyebakan tercerabutnya kepekaan anak.
Sementara itu lingkungan keluarga maupun lingkungan masyarakat kurang memberikan dukungan terhadap penumbuhan kecerdasan spiritual pada anak. Di lingkungan keluarga anak lebih banyak berinteraksi dengan sesuatu yang justru menyebabkan semakin jauhnya kepekaan anak, bahkan yang lebih parah lagi apabila proses dehumanisasi itu terjadi justru di tengah lingkungan keluarga. Keluarga sebagai tempat pendidikan yang utama malahan kering dari aspek pedagogis.
Kecerdasan Spiritual yang sebelumnya dikenalkan oleh Donah Zohar dan Ian Marshal pada awal tahun 2000 sebenarnya kecerdasan spiritual sudah dikenal sejak peradaban Islam ada di muka bumi ini.
Menurut Dr Seto Mulyadi, M.Si, kecerdasan spiritual adalah bagaimana manusia dapat berhubungan dengan Sang Pencipta (Ummi, edisi 4 2002). Dengan kata lain kecerdasan spiritual adalah kemampuan menusia untuk mengenali potensi fitrah dalam dirinya serta kemampuan seseorang mengenali tuhannya yang telah menciptakannya, sehingga di manapun berada merasa dalam pengawasan Tuhannya.
Saat ini, kita kesulitan mencari sosok manusia seperti yang pernah ditemui Umar Bin Khattab dimasa pemerintahannya. Ketika itu Umar meminta kepada seorang anak untuk menjual seekor kambing kepada Umar. Tetapi apa yang terjadi, walaupun sang pemilik kambing itu tidak mengetahui, pemuda tadi berkeberatan untuk menjual salah satu kambingnya. Dan yang menarik adalah dialaog antara Umar dengan pemuda tersebut ketika Umar terus mendesak bahwa sang majikan tidak melihatnya. Apa kata sang remaja? Dimana Allah? Sebuah jawaban yang menggetarkan hati Umar. Remaja seperti ini sangat sulit kita temukan dimasa kini.
Sosok remaja dimasa Umar bukanlah sosok yang hadir begitu saja ditengah kita, tetapi memerlukan proses pembentukan. Dan usia dinilah usia emas untuk pembentukan akhlak tersebut. Orangtua dan lembaga pendidikan adalah tempat yang dapat menciptakan terciptanya anak yang memiliki kecerdasan spiritual tinggi yang akan memberi dasar bagi terciptanya generasi yang memiliki akhlak yang mulia.
Dr Arief Rachman menggambarkan bahwa kecerdasan spiritual adalah pertama, kecerdasan yang meyakini Tuhan sebagai Penguasa, Penentu, Pelindung, Pemaaf dan kita percaya atas Kehadiran-Nya. Selain itu harus ada pula kemampuan untuk bekerja keras, kemampuan untuk mencari ridho Allah, kemampuan untuk melakukan ibadah secara disiplin, kesabaran, tahan dengan ujian dan kemampuan untuk menerima segala keputusan yang telah ditetapkan Allah.
Cerdas tidaknya anak pada sisi spiritual tergantung orangtua dan keluarga sebagai tempat belajar pertama, sekolah dan lingkungan sebagai tempat belajar kedua. Apabila lingkungan keluarga dan lingkungan sekolah kurang memperhatikan aspek spiritual maka dengan sendirinya sulit kita temukan anak yang memiliki kecerdasan spirtual.
Tingkatan spiritual pada diri seseorang dapat berbeda-beda tergantung bagaimana pendekatan yang digunakan kepada anak. Pertama tingkatan spiritual yang hidup. Untuk mendapatkan tingkatan kecerdasan spiritual ini anak harus diajarkan mengenal Tuhannya, mengenal penciptanya melalui ciptaan-Nya. Hal-hal yang membuat anak terpesona kita bingkai dengan koridor mengenal Allah sebagai pencipta. Apabila anak sejak dini dikenalkan kepada Sang Penciptannya, maka secara perlahan kematangan spiritual akan tertanam pada diri anak.
Kedua, tingkatan spiritual yang sehat. Untuk mendapatakan tingkatan kecerdasan spiritual ini orangtua harus mengajarkan anak untuk melakukan komunikasi yang baik dengan pencipta, yaitu dengan melatih mengerjakan ibadah-ibadah wajib sejak usia dini, membiasakan diri untuk selalu mengingat nama-Nya dalam setiap kejadian yang ditemuinya. Misalnya kebiasaan mengucapkan bismillah ketiak akan beraktifitas, mengucapkan Insya Allah ketika sedang berjanji dengan orang lain.
Ketiga, tingkatan bahagia secara spiritual. Untuk mendapatkan ini anak sejak dini dilatih untuk mengerjakan ibadah-ibadah sunnah sebagai tambahan, merutinkan membaca Al Qur’an, sholat malam dan lain sebagainya. Keempat, damai secara spiritual, bentuk kecerdasan tingkatan ini dapat dilatih dengan mengajarkan kepada anak bahwa bentuk kecintaan yang ada di dunia ini tidak melebihi terhadap bentuk kecintaannya terhadap Allah sebagai Penciptannya. Kelima, arif secara spiritual. Pada tingkatan ini seseorang akan membingkai segala aktivitasnya adalah sebagai bagian dari ibadah kepada Allah, sehingga segalanya memiliki makna.
Berdasarkan penelitian, anak yang memiliki kecerdasan spiritualnya tinggi rasa ingin tahunya semakin besar, sehingga memiliki dorongan untuk selalu belajar serta memiliki kreativitas yang tinggi pula.
Kecerdasan spiritual dapat ditumbuhkan pada anak dengan cara membersihkan hatinya lebih dahulu. Dengan hati yang bersih maka aktivitas yang lainnya akan menjadi lebih mudah. Sementara itu untuk mengotimalkan kecerdasan spiritual pada anak dapat dilakukan dengan cara: pertama, memberikan bantuan kepada anak untuk merumuskan tujuan hidupnya, baik tujuan hidup jangka pendek maupun tujuan hidup jangka panjang. Kedua, sesering mungkin orangtua menceritakan kisah-kisah yang agung, kisah yang menarik dan mengesankan, seperti kisah para Rasul, atau pahlawan lainnya.
Ketiga, mendiskusikan segala persoalan dengan perespektif ruhaniyah. Keempat, sering melibatkan anak dalam ritual kegaamaan, seperti dilatih sejak kecil untuk sholat berjamaah bagi anak laki- laki, selalu membaca doa dan yang terpenting adalah pemaknaan dari kegiatan tersebut. Kelima, membawa anak kepada orang yang menderita, kematian. Mengunjungi orang yang menderita akan membuat anak peka terhadap sesama sehingga mendorong anak untuk berbuat baik terhadap orang lain.
Orang-orang yang mempunyai kecerdasan spiritual tinggi akan meninggalkan bekas di hati orang lain, sebab orang yang memiliki kecerdasan spiritual yang tinggi akan menjaga amanah yang diberikan kepadanya. Orang yang cerdas secara spiritual tidak akan melakukan korupsi, penggelapan uang rakyat dan sebagainya, sebab dimanapun dia berada, orang yang cerdas secara spiritual akan merasa selalu diawasi sang pencipta, Allah SWT. Lalu yang menjadi pertanyaan apabila sebuah negeri tingkat korupsinya tinggi bagaimana tingkat kecerdasan spiritual pengelolanya? (Banjarmasin Post)
Langganan:
Postingan (Atom)